India Gaspol ke Energi Bersih, Pajak Turbin dan Panel Surya Dipangkas

RBDCOTAX, Jakarta: Pemerintah India resmi memangkas tarif pajak barang dan jasa (GST) untuk perangkat energi terbarukan dari 12% menjadi 5%. Kebijakan ini akan berlaku mulai 22 September 2025 dan mencakup panel surya, komponen turbin angin, hingga instalasi biogas.

Kementerian Keuangan India menyebut langkah ini dirancang untuk menurunkan biaya investasi, membuat harga lebih terjangkau bagi masyarakat, sekaligus mempercepat pertumbuhan kapasitas energi hijau di dalam negeri.

“Keputusan ini menjadi sinyal kuat bagi investor dan akan meningkatkan daya tarik finansial sektor energi terbarukan,” ujar Amit Paithankar, CEO Waaree Energies Ltd., salah satu eksportir panel surya terbesar di India, dikutip dari Bloomberg, Minggu (7/9/2025).

Selain mendukung konsumsi domestik, kebijakan ini juga dipandang sebagai strategi India menghadapi tekanan eksternal. Pemangkasan tarif dilakukan untuk meredam dampak tambahan bea masuk yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap produk ekspor asal India, sehingga industri energi terbarukan tetap kompetitif di pasar global.

India menargetkan kapasitas energi bersih mencapai 500 gigawatt (GW) pada 2030, sejalan dengan ambisi jangka panjang mencapai netral karbon pada 2070.Mitra pajak dan energi baru di EY India, Saurabh Agarwal, menilai kebijakan ini berpotensi mengubah dinamika bisnis energi.

“Dalam jangka pendek mungkin ada peninjauan ulang perjanjian jual-beli listrik. Namun, keuntungan dari biaya peralatan yang lebih rendah serta peningkatan investasi akan jauh lebih besar dalam jangka panjang,” jelasnya.

Dengan kebijakan fiskal yang lebih ramah, India tidak hanya memperkuat ketahanan ekonominya, tetapi juga mempercepat langkah menuju masa depan energi bersih yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Tak Mau Kebocoran, DJP Terapkan Skema Baru Pengawasan Pajak

RBDCOTAX, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperketat langkah pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak melalui penerbitan Surat Edaran Nomor SE-05/PJ/2022. Aturan ini dirancang untuk menutup potensi kebocoran penerimaan negara sekaligus meningkatkan efektivitas pengawasan terhadap kelompok wajib pajak strategis.

Dalam aturan tersebut, pengawasan diartikan sebagai kegiatan pembinaan dan penelitian atas pemenuhan kewajiban perpajakan, baik yang sudah, belum, maupun akan dilakukan wajib pajak.

Untuk memperjelas fokus, DJP membagi dua kategori utama yakni wajib pajak strategis dan wajib pajak lainnya.

Wajib Pajak Strategis

Kelompok strategis terdiri dari wajib pajak yang berada di bawah Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya. Selain itu, wajib pajak dengan NPWP pusat di KPP Pratama yang berkontribusi besar terhadap penerimaan pajak atau memenuhi kriteria khusus juga masuk dalam kategori ini.

DJP menerapkan dua instrumen utama dalam pengawasan, yakni Pengawasan Pembayaran Masa (PPM) dan Pengawasan Kepatuhan Material (PKM).

• PPM berfokus pada kepatuhan formal dan material di tahun pajak berjalan.

• PKM menitikberatkan pada analisis tahun-tahun sebelumnya, termasuk laporan keuangan hingga isu transfer pricing.

Skema baru ini berlaku untuk berbagai jenis pajak yang menjadi kewenangan DJP, mulai dari PPh, PPN, PPnBM, Bea Meterai, hingga PBB.

Penetapan wajib pajak strategis dilakukan oleh Kepala Kanwil DJP berdasarkan usulan KPP Pratama, dan harus diterbitkan paling lambat tujuh hari kerja sejak usulan diterima.

Status ini berlaku selama satu tahun dan dapat diperbarui sesuai kebutuhan.Melalui mekanisme tersebut, DJP menegaskan komitmennya menjaga penerimaan negara tetap optimal. Dengan pengawasan yang lebih sistematis dan menyasar wajib pajak strategis, kebocoran pajak diharapkan dapat ditekan sekaligus memperkuat kepatuhan secara menyeluruh.

Sri Mulyani Pastikan 2026 Tanpa Pajak Baru, Fokus pada Kepatuhan dan UMKM

RBDCOTAX, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menerapkan pajak baru ataupun menaikkan tarif yang ada pada tahun 2026. Meski demikian, target pendapatan negara ditetapkan naik 9,8% menjadi Rp3.147,7 triliun, dengan kontribusi terbesar berasal dari penerimaan pajak sebesar Rp2.357,7 triliun atau tumbuh 13,5%.

“Sering kali masyarakat menilai peningkatan pendapatan negara identik dengan kenaikan pajak. Padahal, tarif pajak tetap sama. Kami lebih mengandalkan peningkatan kepatuhan,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan DPD RI secara virtual, Selasa (2/9/2025).

Ia menegaskan, strategi pemerintah adalah memperluas basis pajak tanpa membebani kelompok yang rentan. UMKM, misalnya, tetap mendapat fasilitas: omzet hingga Rp500 juta bebas PPh, sementara omzet di atas Rp500 juta sampai Rp4,8 miliar dikenai pajak final hanya 0,5%. Bandingkan dengan PPh Badan yang mencapai 22%.“Ini bentuk keberpihakan negara kepada pelaku UMKM,” jelasnya.

Tak hanya sektor UMKM, Sri Mulyani menyebut pendidikan dan kesehatan juga dibebaskan dari pungutan pajak, sementara masyarakat dengan pendapatan tahunan di bawah Rp60 juta tidak dikenai PPh.Menurutnya, kebijakan ini mencerminkan prinsip gotong royong: penerimaan negara terus dijaga, namun perlindungan terhadap kelompok lemah tetap diutamakan.

Di sisi lain, pelayanan perpajakan akan diperbaiki melalui penyempurnaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax). Sistem tersebut diharapkan mampu menyederhanakan kewajiban wajib pajak, memperkuat pertukaran data, serta menyamakan perlakuan transaksi digital dengan transaksi konvensional.

“Program-program ini bertujuan agar pengawasan, pemeriksaan, dan intelijen perpajakan dapat dilakukan lebih konsisten,” tegas Sri Mulyani.