CELIOS Minta Pemerintah Berani Eksekusi Pajak Kekayaan Crazy Rich di Indonesia

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mendesak pemerintah untuk tidak lagi sekadar memberi peringatan, tetapi segera mengeksekusi pajak kekayaan (wealth tax) kepada kalangan superkaya Indonesia. Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menilai, keberanian politik diperlukan agar penerimaan negara tidak hanya bertumpu pada rakyat kebanyakan.

“Kalau hanya mengandalkan imbauan kepatuhan, itu terlalu standar. Orang superkaya punya seribu cara untuk menghindari pajak, bahkan dengan bantuan konsultan. Karena itu, perlu langkah nyata: terapkan wealth tax 2 persen dari aset bersih mereka,” tegas Bhima, Selasa (30/9).

Menurut kajian CELIOS, penerapan wealth tax 2 persen kepada 50 orang terkaya di Indonesia dapat menghasilkan penerimaan hingga Rp81,56 triliun per tahun. Data tersebut dihitung dari deretan konglomerat dengan kekayaan rata-rata Rp159 triliun dan terendah Rp15 triliun.

Bhima menegaskan, pajak kekayaan akan berfungsi ganda: mengoptimalkan penerimaan sekaligus membuka peta harta tersembunyi para high net worth individual (HNWI). “Selama ini pajak hanya terbatas pada PBB, PPnBM, atau PPh final dividen. Itu belum cukup. Kita perlu menyasar total aset bersih individu,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah memiliki basis data kuat sejak tax amnesty 2016–2017, Program Pengungkapan Sukarela 2022, hingga pertukaran data lintas negara melalui Automatic Exchange of Information (AEoI).

“Data itu tinggal di-follow up. Pemerintah sudah memberi berbagai insentif seperti tax holiday dan tax allowance. Saatnya menagih balik dari crazy rich yang selama ini menikmati fasilitas itu,” ujar Bhima.

CELIOS menekankan, wealth tax tidak sekadar instrumen fiskal, tetapi juga simbol keberanian pemerintah menegakkan keadilan sosial. “Kalau pemerintah berani mengeksekusi, publik akan melihat negara hadir membatasi dominasi segelintir orang atas ekonomi nasional,” pungkasnya.

Purbaya Andalkan Penguatan Hukum di Sektor Pajak dan Cukai untuk Dongkrak APBN 2026

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa penguatan penegakan hukum di sektor pajak dan cukai akan menjadi ujung tombak pencapaian target pendapatan negara tahun depan. Strategi ini disiapkan menyusul kenaikan target RAPBN 2026 yang dipatok sebesar Rp3.153,6 triliun, naik Rp5,9 triliun dari rancangan sebelumnya era Sri Mulyani Indrawati.

Dari total itu, penerimaan pajak tetap dipatok Rp2.357,7 triliun, sementara sektor kepabeanan dan cukai dinaikkan menjadi Rp336 triliun dari sebelumnya Rp334,3 triliun. Adapun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sedikit terkerek menjadi Rp459,2 triliun.

“Cukai pada dasarnya nanti akan kita tegakkan penegakan hukum. Di pajak juga begitu. Across the board kita jalankan, dan itu yang menghasilkan tambahan penerimaan Rp5,9 triliun,” kata Purbaya saat ditemui di Kantor Kemenkeu, Jumat (26/9/2025).

Penegasan terbesar diarahkan pada pemberantasan rokok ilegal yang selama ini menggerogoti penerimaan negara. Purbaya memastikan operasi akan diperluas dan dilakukan secara intensif. “Kita mulai tangkepin. Saya ingin yang gelap-gelap itu hilang, sehingga penerimaan cukai bisa lebih tinggi,” tegasnya.

Selain itu, pengawasan impor juga akan diperketat melalui pemeriksaan acak pada jalur hijau bea cukai, yang selama ini jarang tersentuh pemeriksaan fisik. “Biasanya jalur ini enggak diperiksa. Sekarang kita randomize, sehari bisa 10 atau lebih. Jadi tidak ada lagi ruang main-main,” tambahnya.

Dengan kombinasi penguatan di pajak dan cukai, Purbaya optimistis tambahan penerimaan Rp5,9 triliun dapat terealisasi tanpa harus menambah beban masyarakat melalui kenaikan tarif baru.

Pajak E-Commerce Ditunda, Purbaya: Jangan Sampai UMKM Mati Sebelum Berkembang

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memutuskan menarik rem darurat soal rencana pemungutan pajak bagi pedagang online di marketplace. Kebijakan yang tadinya akan membebani transaksi merchant dengan PPh Pasal 22 sebesar 0,5 persen itu resmi ditunda hingga kondisi ekonomi nasional kembali aman terkendali.

Langkah ini diambil setelah gelombang penolakan dari pelaku UMKM menguat. Purbaya menilai, pemerintah tidak bisa gegabah memaksa kebijakan yang justru berpotensi mematikan usaha kecil yang sedang bertahan di tengah ketidakpastian ekonomi.

“Ini kan baru ramai-ramai kemarin, jadi kita tahan dulu. Kita tunggu sampai waktunya pas,” ujar Purbaya dalam media briefing di kantornya, Jumat (26/9/2025).

Ia menegaskan, belum ada satupun marketplace yang ditunjuk untuk menjadi pemungut pajak. Pemerintah, kata dia, lebih memilih mengamati dulu perkembangan situasi ekonomi ketimbang buru-buru mengeksekusi aturan.

Bagi Purbaya, pajak seharusnya menjadi instrumen yang mendorong pertumbuhan, bukan sebaliknya. “Kalau kebijakan mendorong perekonomian itu sudah kelihatan dampaknya, baru kita akan pikirkan nanti,” tegasnya.

DJP: Pajak Digital Bukan Lagi Pelengkap, Sudah jadi Mesin Penerimaan

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Penerimaan negara dari sektor usaha ekonomi digital kini kian tak terbantahkan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat, hingga 31 Agustus 2025, pajak digital telah terkumpul sebesar Rp 41,09 triliun. Angka fantastis ini menandai bahwa pajak digital bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan sudah menjelma sebagai mesin utama penerimaan negara.

“Dengan realisasi sebesar Rp 41,09 triliun, pajak digital kian menegaskan perannya sebagai penggerak utama penerimaan negara di era digital ini,” tegas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, Jumat (26/9/2025).

Pajak Digital Jadi Pilar Baru

Kinerja pajak digital tersebut ditopang oleh empat sektor utama. Pertama, PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang berhasil menghimpun Rp 31,85 triliun. Hingga Agustus 2025, pemerintah telah menunjuk 236 perusahaan sebagai pemungut, dengan 201 di antaranya sudah aktif melakukan pemungutan dan penyetoran. Tren penerimaan terus meningkat tiap tahun, dari Rp 731,4 miliar pada 2020 hingga Rp 6,51 triliun pada 2025.

Kedua, pajak aset kripto yang terkumpul Rp 1,61 triliun sejak diterapkan pada 2022. Penerimaan ini berasal dari PPh 22 sebesar Rp 770,42 miliar dan PPN Dalam Negeri Rp 840,08 miliar.

Ketiga, pajak fintech (P2P lending) yang memberikan kontribusi Rp 3,99 triliun. Penerimaan ini berasal dari PPh 23, PPh 26, serta PPN DN, dengan porsi terbesar Rp 2,15 triliun dari PPN.
Keempat, pajak melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) yang menyumbang Rp 3,63 triliun, dengan komposisi PPh Pasal 22 sebesar Rp 242,31 miliar dan PPN Rp 3,39 triliun.

Bukan Lagi Opsional

DJP menilai lonjakan pajak digital ini adalah refleksi nyata transformasi ekonomi nasional. Jika sebelumnya pajak digital hanya dianggap sebagai tambahan, kini perannya semakin vital untuk menopang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

“Perkembangan teknologi harus berbanding lurus dengan kontribusi pada negara. Pajak digital bukan lagi opsional, melainkan sudah menjadi penentu stabilitas penerimaan. Inilah wajah baru perpajakan Indonesia,” tandas Rosmauli.

Tak Bisa Kabur! KPK Bantu Kejar Rp60 Triliun Pajak Mandek

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Pemerintah mengirim sinyal keras bagi 200 penunggak pajak: tak ada lagi ruang untuk bersembunyi. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyiapkan langkah tegas mengejar tunggakan yang nilainya tembus Rp50 hingga Rp60 triliun.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan operasi penagihan akan segera dieksekusi. Ia menegaskan negara tak akan memberi kelonggaran sedikit pun bagi pihak yang selama ini mengabaikan kewajibannya.

“Kita mau kejar, eksekusi. Targetnya sekitar Rp50 sampai Rp60 triliun. Dalam waktu dekat ini kita tagih, dan mereka enggak bisa lari,” tegas Purbaya, Senin (22/9).

Kemenkeu tidak bergerak sendiri. KPK siap mendampingi, bersama Polri, Kejaksaan Agung, hingga PPATK, untuk memastikan proses penagihan berjalan tanpa celah permainan.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menegaskan bahwa potensi korupsi tidak hanya terjadi pada belanja anggaran, tetapi juga bisa muncul di sisi penerimaan negara. Oleh karena itu, pengawasan dan pendampingan harus dilakukan secara menyeluruh.
“Kami siap bekerja sama dengan Kemenkeu. Pajak adalah urat nadi penerimaan negara, dan harus dijaga agar tidak bocor. Ini penting melibatkan banyak pihak, agar sistem pengawasan berjalan optimal,” kata Budi, Rabu (24/9).

Langkah ini sekaligus menjadi peringatan keras bagi para penunggak pajak. Negara telah mengerahkan kekuatan penuh lintas lembaga untuk memastikan setiap rupiah kewajiban dibayar.

Dengan tambahan puluhan triliun rupiah, pemerintah berharap ruang fiskal semakin kuat untuk menopang pembangunan dan pelayanan publik.

Menkeu Purbaya: Pajak Harus Adil, Wajib Pajak Patuh Dilindungi – Penunggak Harus Dikejar

(Foto: Istimewa)

RBDCOTAX, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa melontarkan peringatan keras kepada jajaran pegawai pajak agar menghentikan praktik nakal yang kerap merugikan masyarakat. Ia menegaskan, wajib pajak yang sudah taat tidak boleh lagi diperlakukan seolah-olah “target empuk” oleh aparat pajak.

“Kita harus adil. Kalau sudah bayar pajak, jangan diganggu sama sekali. Nggak boleh ada lagi cerita pegawai pajak main peras. Saya akan buka kanal khusus pengaduan untuk melaporkan hal-hal semacam itu,” tegas Purbaya di Gedung DPR RI, Selasa (23/9).

Langkah ini disebutnya sebagai bentuk perlindungan pemerintah terhadap masyarakat yang telah memenuhi kewajiban. Purbaya menegaskan, prinsip fair treatment harus benar-benar dijalankan, karena kepatuhan pajak tidak boleh dibalas dengan intimidasi.

Meski memberi jaminan kepada wajib pajak yang taat, Purbaya justru lebih keras menyoroti para pengemplang pajak. Ia menuturkan, sebanyak 200 penunggak pajak dengan status hukum inkrah memiliki kewajiban total senilai Rp60 triliun. Pemerintah, kata dia, tidak akan memberi kelonggaran lagi.

“Saya sudah paksa mereka bayar minggu ini. Kalau tidak, hidupnya akan susah di negeri ini. Tahun ini pokoknya harus masuk ke kas negara,” ucapnya lantang.

Meski enggan menyebutkan nama 200 penunggak tersebut, Purbaya memastikan langkah penegakan hukum dan penagihan agresif sedang berjalan. Ia menekankan bahwa pemerintah tidak segan menggunakan seluruh instrumen yang ada untuk memastikan kewajiban mereka disetor.

Menurutnya, strategi ini merupakan pesan jelas: siapa pun yang patuh akan dilindungi, tetapi siapa yang bandel akan dikejar habis-habisan. “Kalau kewajibannya sudah dilunasi, selesai. Tidak akan ada lagi gangguan dari DJP. Tapi kalau tetap ngeyel, jangan harap bisa hidup tenang di sini,” kata Purbaya.

Kebijakan tegas ini dipandang sebagai upaya pemerintah membangun kembali kepercayaan publik terhadap otoritas pajak, yang selama ini kerap tercoreng oleh ulah segelintir aparat maupun penunggak pajak besar yang mangkir.

200 Penunggak Pajak Jumbo Diburu, Menkeu: Tak Ada Lagi Jalan Kabur

Foto: Tangkapan Layar Youtube



RBDCOTAX, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melancarkan peringatan keras bagi para pengemplang pajak besar. Ia memastikan 200 penunggak pajak jumbo yang nilainya mencapai Rp50–60 triliun akan segera dieksekusi.

“Kita punya daftar 200 penunggak pajak besar yang sudah inkracht. Kita akan kejar dan eksekusi. Dalam waktu dekat akan kita tagih, dan mereka tidak akan bisa lari,” tegas Purbaya dalam Konferensi Pers APBN KiTA di Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (22/9).

Pernyataan itu menandai langkah baru pemerintah untuk menutup celah bagi segelintir pengusaha yang selama ini kerap lolos dari kewajiban pajak. Purbaya menegaskan, negara tidak akan lagi memberi ruang kompromi: semua penunggak wajib melunasi kewajibannya.

Dalam kesempatan yang sama, Purbaya mengungkapkan kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga Agustus 2025. Defisit sudah mencapai Rp321,6 triliun atau 1,35 persen dari PDB.

“Pendapatan negara Rp1.638,7 triliun atau 57 persen dari target. Itu terdiri dari penerimaan pajak Rp1.330 triliun, kepabeanan dan cukai Rp122,9 triliun, serta PNBP Rp306,8 triliun,” jelasnya.

Sementara itu, belanja negara tercatat Rp1.960,3 triliun, setara 55,6 persen dari pagu. Kondisi ini memperlihatkan urgensi tambahan penerimaan untuk menutup pelebaran defisit.

Masalah pengemplang pajak kelas kakap bukan isu baru. Tahun lalu, Hashim Djojohadikusumo, adik Presiden Prabowo, pernah mengungkap adanya 300 pengusaha yang menunggak pajak hingga Rp300 triliun, sebagian besar dari sektor sawit. Data itu disebut bersumber dari Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan Kepala BPKP Yusuf Ateh.

Kini, Purbaya menegaskan tidak ada lagi alasan untuk menunda penindakan. Dengan daftar 200 penunggak pajak besar sudah di tangan, negara tinggal menunggu waktu untuk mengeksekusi.

Jika benar terealisasi, tagihan Rp60 triliun dari para penunggak jumbo bukan hanya akan memperkuat kas negara, tapi juga menjadi pesan tegas: pengusaha besar tak lagi bisa kabur dari kewajiban pajak.

Purbaya Blak-blakan Soal Coretax: Jangan Lagi ABS!

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bicara apa adanya soal keluhan publik terhadap Core Tax Administration System (CATS) atau Coretax. Ia mengaku tidak mau lagi menerima laporan manis dari bawahannya yang sekadar membuat atasan puas, padahal kenyataannya di lapangan masih penuh masalah.

“Kalau kata orang pajak, sistemnya sudah stabil. Tapi kata wajib pajak, masih lama, prosesnya belum lancar. Jadi saya akan cek sendiri,” tegas Purbaya, Jumat (19/9/2025).

Purbaya menyinggung budaya lama yang masih melekat di birokrasi, yakni asal bapak senang (ABS). Menurutnya, laporan sering kali disusun seolah-olah semua baik-baik saja, padahal setelah ditelusuri banyak persoalan belum terselesaikan.

“Kalau ditanya bos, pasti jawabannya bisa semua. Lapor ke Presiden juga begitu, semuanya ABS. Padahal setelah dicek, banyak yang belum beres,” ujarnya.

Ia menegaskan, reformasi administrasi pajak tidak boleh lagi dikotori pola ABS. “Kalau sudah ada keluhan nyata dari masyarakat, ya harus diselesaikan sesuai fakta di lapangan, bukan ditutup-tutupi,” tambahnya.

Sebelumnya, publik sempat menyoroti video unggahan resmi Ditjen Pajak di TikTok. Dalam tayangan itu, Purbaya menelpon kring pajak layaknya wajib pajak biasa, menanyakan soal pendaftaran Coretax. Namun jawaban lengkap dari petugas tidak ditampilkan, sehingga publik justru makin ragu terhadap kesiapan sistem baru ini.

Menurut Purbaya, membenahi Coretax harus dilakukan dengan transparan. Ia berjanji akan mengawal langsung perbaikan sistem agar benar-benar memberi manfaat nyata bagi wajib pajak, bukan sekadar proyek yang terlihat mulus di atas kertas.

Menkeu Purbaya: Tak Ada Lagi Amnesty dan Tindak Tegas Praktik Penggelapan Pajak

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa pemerintah tidak akan lagi menjalankan program pengampunan pajak (tax amnesty). Kebijakan pengampunan berulang dianggap justru merusak kredibilitas sistem perpajakan dan memberi sinyal keliru bagi wajib pajak.

“Kalau amnesti dilakukan berkali-kali, pesan yang sampai ke masyarakat adalah boleh melanggar pajak, nanti ada amnesti lagi. Ini jelas salah,” tegas Purbaya dalam media briefing di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (19/9/2025).

Alih-alih mengandalkan tax amnesty, Purbaya menekankan pentingnya menindak tegas praktik penggelapan pajak dan memaksimalkan seluruh instrumen perpajakan yang sudah ada. Menurutnya, langkah ini jauh lebih efektif dalam meningkatkan kepatuhan dan rasio pajak nasional.

“Kalau tiap beberapa tahun ada tax amnesty, semua orang akan sembunyikan uangnya dulu, menunggu pemutihan berikutnya. Itu pesan yang salah. Sekarang saatnya tindakan tegas,” jelasnya.

Selain itu, Menkeu menekankan perlunya mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang masih mengalami perlambatan, sebagai strategi jangka panjang untuk memperkuat penerimaan pajak.

Di sisi legislatif, DPR RI telah memasukkan RUU Pengampunan Pajak ke dalam Prolegnas Prioritas 2026, bersamaan dengan RUU Perampasan Aset dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).

Wakil Ketua Baleg DPR RI, Sturman Panjaitan, menegaskan bahwa pembahasan RUU ini akan diteruskan pada 2026 jika tidak rampung tahun ini. Purbaya menegaskan bahwa tax amnesty bukan lagi opsi, dan wajib pajak yang mencoba menghindari kewajiban akan menghadapi sanksi tegas.

Pemerintah Jaga Target Pajak 2026 Tetap Rp2.357 T, Andalkan Coretax

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Pemerintah memastikan target pajak dalam RAPBN 2026 tidak berubah, tetap di angka Rp2.357,7 triliun. Alih-alih menaikkan target, Kementerian Keuangan memilih mengandalkan modernisasi sistem pajak lewat Core Tax Administration System (Coretax) untuk mendongkrak penerimaan negara.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengatakan strategi ini dipilih agar penerimaan bisa ditingkatkan tanpa menambah beban wajib pajak.

“Masih ada ruang improvement, baik kepatuhan maupun administrasi. Dengan coretax dan program ekstensifikasi, potensi pajak bisa dioptimalkan,” kata Anggito usai rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR RI, Kamis (18/9/2025).

Menurut Anggito, coretax akan menjadi pilar penting sistem perpajakan Indonesia. Teknologi ini bukan hanya membuat administrasi lebih efisien, tetapi juga menjamin hak-hak wajib pajak lebih jelas dan transparan.
“Dengan coretax, pembayaran jadi lebih pasti dan akurat. Wajib pajak pun lebih terlindungi,” ujarnya.
PPN 8 Persen Masih Wacana

Di sisi lain, Anggito menampik isu penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ke 8 persen. Menurutnya, sampai saat ini belum ada pembicaraan di internal pemerintah terkait kebijakan tersebut.

Isu PPN memang terus jadi sorotan. Lembaga riset CELIOS bahkan menyebut tarif 8 persen bisa menambah Produk Domestik Bruto (PDB) Rp133,65 triliun sekaligus mendorong konsumsi masyarakat. Namun, pemerintah tetap menahan diri dan memilih fokus pada efektivitas sistem pajak baru.

Meski target pajak tidak berubah, revisi RAPBN 2026 menggeser sejumlah pos. Pendapatan negara naik menjadi Rp3.153,6 triliun, sementara belanja negara melebar ke Rp3.842,7 triliun. Akibatnya, defisit anggaran ikut membesar menjadi Rp689,1 triliun atau 2,68 persen dari PDB.

Pemerintah berharap kombinasi disiplin anggaran dan penguatan sistem perpajakan bisa menjaga perekonomian tetap stabil di tahun depan.