DJP Nyalakan Mode “Perang Akhir Tahun”, Terapkan Strategi Micro Management

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Menjelang tutup tahun fiskal, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memasuki fase yang disebut “mode perang”. Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan, otoritas pajak kini menerapkan strategi micro management super ketat untuk memastikan target penerimaan negara tidak jebol dari ambang shortfall.

Hingga akhir 2025, penerimaan pajak diperkirakan baru akan mencapai Rp 2.076,9 triliun, padahal target yang ditetapkan mencapai Rp 2.189,3 triliun. Artinya, ada potensi celah sebesar Rp 112,4 triliun yang harus ditutup hanya dalam waktu tiga bulan tersisa.

Dari laporan per September 2025, DJP baru mengantongi Rp 1.295,3 triliun penerimaan. Dengan begitu, sekitar Rp 781,6 triliun harus berhasil dikumpulkan di kuartal keempat—periode yang selalu menjadi final battle bagi fiskus.

“Sekarang kita sudah mulai micro management untuk collection,” ungkap Bimo di sela kegiatan di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (22/10/2025).

Ia menegaskan, fokus utama DJP saat ini bukan lagi sekadar mengejar volume pajak, tetapi menyisir satu per satu wajib pajak besar yang berpotensi kurang bayar.

“Kita pantau betul semua wajib pajak. Kita minta daftar dari seluruh kanwil siapa yang punya potensi besar, lalu kita ukur kepatuhannya. Kalau ada celah, langsung kita dorong supaya optimal,” tegasnya.

Langkah micro management ini ibarat operasi bedah pajak presisi, di mana setiap data, profil, dan perilaku wajib pajak besar menjadi bahan analisis utama. Bimo memastikan, pengawasan yang lebih dalam ini bukan bentuk tekanan, melainkan bagian dari compliance drive agar para kontributor utama negara menunaikan kewajibannya secara penuh dan tepat waktu.

“Tujuannya sederhana: tutup celah, tingkatkan kepatuhan, dan amankan target,” ujarnya singkat namun penuh makna.

Dengan pendekatan ultra-detail ini, DJP berharap lonjakan penerimaan di kuartal IV dapat menghapus potensi shortfall dan menutup tahun fiskal 2025 dengan hasil yang tetap solid di tengah tekanan ekonomi global.

Sektor Digital Kian Perkasa, Sumbang Rp 42,53 Triliun Pajak ke Kas Negara Hingga September 2025

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Ledakan ekonomi digital bukan sekadar tren teknologi, tapi kini benar-benar jadi mesin baru penggerak penerimaan negara. Hingga 30 September 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat pajak dari sektor digital mencapai angka fantastis Rp 42,53 triliun!

“Capaian ini bukan angka biasa. Ini bukti bahwa dunia digital telah menjadi sumber tenaga baru bagi pertumbuhan penerimaan pajak Indonesia,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, Rabu (22/10/2025).

Menurutnya, empat sektor utama menjadi penopang besarnya kontribusi itu: PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), pajak aset kripto, pajak fintech, dan pajak melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP).

Dari keempatnya, PPN PMSE menjadi primadona dengan sumbangan mencapai Rp 32,94 triliun. Pemerintah sejauh ini telah menunjuk 246 perusahaan digital global dan lokal sebagai pemungut pajak digital, termasuk nama-nama baru seperti Viagogo GMBH, Coursiv Limited, Ogury Singapore, BMI GlobalEd Limited, dan GetYourGuide.

“Dari 246 pemungut, sebanyak 207 di antaranya telah aktif menyetorkan pajak ke kas negara. Artinya, sektor digital sudah semakin patuh dan terintegrasi dalam sistem perpajakan nasional,” jelas Rosmauli.

Kinerja PPN PMSE juga terus menanjak setiap tahun mulai dari Rp 731 miliar pada 2020, melonjak jadi Rp 3,9 triliun pada 2021, Rp 5,51 triliun di 2022, Rp 6,76 triliun pada 2023, hingga Rp 8,44 triliun di 2024. Hingga September 2025, penerimaan sudah menyentuh Rp 7,6 triliun, menandakan potensi yang belum berhenti tumbuh.

Sementara itu, pajak aset kripto ikut memperlihatkan geliat kuat dengan total penerimaan Rp 1,71 triliun. Pajak ini berasal dari transaksi di berbagai platform perdagangan aset digital yang semakin ramai digunakan masyarakat. Komposisinya terdiri dari PPh 22 sebesar Rp 836,36 miliar dan PPN Dalam Negeri Rp 872,62 miliar.

Tak ketinggalan, fintech atau layanan keuangan berbasis teknologi juga jadi kontributor besar dengan Rp 4,1 triliun penerimaan pajak hingga September 2025. Penerimaan ini mencakup PPh 23 dan PPh 26 atas bunga pinjaman, serta PPN Dalam Negeri atas setoran masa.

Sedangkan pajak dari Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) menambah kas negara sebesar Rp 3,78 triliun, terdiri dari PPh Pasal 22 sebesar Rp 251,14 miliar dan PPN sebesar Rp 3,53 triliun.

Rosmauli menegaskan, capaian Rp 42,53 triliun ini bukan sekadar hasil pemungutan, tapi gambaran nyata transformasi digital perpajakan yang berjalan masif. “Ekonomi digital bukan lagi sektor pinggiran. Ia sudah menjadi pilar baru penerimaan negara, dan DJP akan terus memperkuat tata kelola serta kolaborasi lintas sektor agar potensi pajak digital semakin optimal,” tegasnya.

Dengan kontribusi yang terus melesat, sektor digital kini bukan hanya simbol inovasi tapi juga urat nadi baru APBN di tengah pergeseran ekonomi menuju era serba daring.

Tak Main-Main! Dirjen Pajak Siap Pecat Pegawai Nakal yang Palak Wajib Pajak

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan tidak akan memberi ruang sedikit pun bagi pegawai pajak yang menyalahgunakan jabatan. Ia memastikan siap memecat siapa pun yang terbukti melakukan pemalakan atau aksi premanisme terhadap wajib pajak.

“Sejak awal saya sudah bilang, fraud sedikit pun akan saya tindak, bahkan saya pecat,” ujar Bimo dengan nada tegas dalam Media Briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Senin (20/10/2025).

Pernyataan keras itu muncul setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melaporkan adanya dugaan aksi premanisme oleh seorang Account Representative (AR) di KPP Tigaraksa, Banten. Dugaan itu mencuat usai laporan yang masuk melalui kanal Lapor Pak Purbaya.

Bimo mengaku telah menginstruksikan Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) untuk menelusuri laporan tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa informasi awal masih terbatas karena laporan disampaikan melalui pesan singkat.

“Laporannya belum lengkap. Kami harus klarifikasi dan konfirmasi langsung kepada pelapor agar bisa tahu siapa yang dimaksud dan sejauh mana indikasinya,” jelasnya.

Bimo menerangkan, setiap laporan yang masuk ke kanal Lapor Pak Purbaya dikelompokkan menjadi dua: laporan perbaikan kebijakan dan laporan administratif. Bila laporan itu mengandung unsur kecurangan, maka akan langsung diproses melalui unit anti-fraud DJP dan sistem Whistleblowing Kementerian Keuangan.

“Kalau memang signifikan dan terbukti, kami tak akan ragu tindak. Tapi pelapor juga harus menyampaikan bukti konkret, supaya prosesnya cepat dan akurat,” kata Bimo.

Sebelumnya, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa secara terbuka mengungkapkan kekecewaannya atas laporan tersebut. Ia bahkan berjanji akan turun langsung memastikan KPP Tigaraksa bersih dari oknum yang bertingkah bak preman.

“Minggu depan harus sudah bersih, nggak boleh ada premanisme. Kalau benar ada yang maksa-maksa minta duit, itu sudah kebangetan,” tegas Purbaya.

Langkah cepat DJP ini menjadi sinyal kuat bahwa reformasi birokrasi pajak tidak main-main. Bimo menegaskan, era pegawai pajak yang arogan sudah lewat. Kini DJP berkomitmen membangun budaya pelayanan yang berintegritas dan transparan.

“Pegawai pajak bukan penguasa, tapi pelayan. Kepercayaan masyarakat itu modal utama kami, dan tidak boleh dirusak oleh oknum,” tutupnya.

Trump Ancam India dengan Tarif Impor Jumbo Jika Tak Hentikan Minyak Rusia

(Foto: Istimewa)

RBDCOTAX, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengguncang panggung geopolitik dengan ancaman tajam terhadap India. Dalam pernyataannya di atas pesawat kepresidenan Air Force One, Minggu (19/10/2025), Trump menegaskan bahwa New Delhi akan dikenai tarif impor besar-besaran jika tetap nekat membeli minyak dari Rusia.

“Saya sudah berbicara dengan Perdana Menteri Modi, dan dia mengatakan tidak akan melanjutkan urusan minyak Rusia,” ujar Trump kepada wartawan, dikutip Senin (20/10/2025).

Namun, suasana segera memanas setelah pemerintah India menampik adanya percakapan seperti yang diklaim Trump. Alih-alih meredakan ketegangan, sang presiden justru merespons dengan gaya khasnya yang blak-blakan dan penuh tekanan.

“Kalau mereka mau bilang begitu, ya silakan saja. Tapi mereka akan terus membayar tarif yang sangat besar, dan mereka tidak mau itu terjadi,” tegas Trump, menandai babak baru dalam tekanan ekonomi Washington terhadap India.

Langkah Trump ini dianggap sebagai bagian dari strategi besar AS untuk mengekang arus uang yang mengalir ke Moskow melalui penjualan energi, di tengah sanksi ekonomi global akibat invasi Rusia ke Ukraina. Bagi Gedung Putih, setiap barel minyak yang dibeli dari Rusia adalah “oksigen” bagi mesin perang Kremlin.

Meski begitu, India selama ini dikenal lihai menjaga keseimbangan hubungan diplomatiknya. Negara itu tetap membeli minyak murah dari Rusia demi menahan lonjakan inflasi dan menjaga suplai energi nasional, sekaligus tetap berusaha mempertahankan kerja sama strategis dengan Washington di bidang teknologi dan pertahanan.

Ancaman tarif besar dari AS bisa menjadi ujian berat bagi pemerintahan Narendra Modi. Di satu sisi, India membutuhkan stabilitas ekonomi domestik. Di sisi lain, konfrontasi dengan AS berisiko mengguncang pasar dan hubungan dagang yang bernilai miliaran dolar.

Pengamat menilai, gaya diplomasi Trump yang keras dan penuh tekanan mencerminkan kembalinya politik luar negeri AS yang lebih transaksional. “Trump menegaskan kembali pesan lamanya: kalau tidak ikut kebijakan kami, bersiaplah menanggung konsekuensinya,” ujar seorang analis hubungan internasional di Washington.

Ancaman ini sekaligus membuka babak baru dalam ketegangan global energi, di mana India kini berada di antara dua kekuatan besar Rusia dan Amerika Serikat yang sama-sama memainkan kartu minyak untuk mempertahankan pengaruhnya di panggung dunia.

Purbaya Ancam Bongkar Jaringan Mafia di DJP dan Bea Cukai: “Era Main Selundupan Sudah Tamat!”

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melempar sinyal keras: tak ada lagi ruang aman bagi mafia pajak dan penyelundupan di tubuh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Dalam waktu dekat, ia memastikan akan ada “gelombang penangkapan besar-besaran” terhadap oknum nakal di dua lembaga strategis tersebut.

“Kalau sektor riil dijaga, barang-barang selundupan saya tutup. Yang suka main selundupan saya tangkap. Sebentar lagi ada penangkapan besar-besaran. Saya tidak peduli di belakangnya siapa. Di belakang saya, Presiden,” tegas Purbaya di Jakarta, Sabtu (16/10/2025).

Purbaya menyebut, langkah ini merupakan bagian dari gerakan nasional menertibkan sistem penerimaan negara yang selama ini bocor akibat praktik kotor di lapangan. Ia menilai, penyelundupan rokok, tekstil, dan produk baja menjadi sumber kebocoran pajak sekaligus biang kerok menurunnya daya saing industri nasional.

“Rokok ilegal, tekstil ilegal, baja ilegal—semuanya merusak. Industri dalam negeri kita yang kerja jujur jadi korban. Ini harus dihentikan total,” ujarnya lantang.

Menurutnya, selama bertahun-tahun jaringan mafia ekonomi ini bekerja rapi, bahkan diduga dilindungi sejumlah oknum aparat. “Saya sudah dengar sendiri dari pegawai Bea Cukai, ada yang ikut melindungi keluar-masuknya barang selundupan. Kalau Dirjen saya bintang tiga, dan yang di belakangnya bintang empat, saya laporkan langsung ke Presiden,” ungkapnya.

Purbaya mengaku tak akan ragu mengorbankan siapa pun demi memulihkan integritas institusi fiskal negara. “DJP dan Bea Cukai harus bersih. Dua lembaga ini jantung penerimaan negara. Kalau jantungnya kotor, seluruh tubuh ekonomi kita bisa lumpuh,” katanya tegas.

Target penerimaan pajak tahun ini mencapai Rp2.189,3 triliun, namun hingga awal Oktober 2025 baru terealisasi 62,4 persen. Sementara dari sektor bea dan cukai, realisasi baru 73,4 persen dari target Rp301,59 triliun per akhir September 2025. Purbaya menilai, angka itu bisa melonjak bila kebocoran dan penyelundupan berhasil dihentikan.

“Kalau penyelundupan berhenti, industri tumbuh, penerimaan pajak ikut naik. Negara tidak perlu menaikkan tarif, cukup tutup bocorannya saja,” ujarnya.

Langkah “bersih-bersih” ini menjadi peringatan nyata bahwa era kompromi telah berakhir. Di bawah komando Purbaya, Kementerian Keuangan tampaknya siap menyalakan alarm perang melawan mafia ekonomi yang selama ini nyaman bermain di balik seragam institusi negara.

Ada Petugas Pajak dan Bea Cukai Nakal? Adukan ke “Lapor Pak Purbaya”!

Foto: Istimewa

RBDCORTAX, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa resmi membuka kanal pengaduan publik bernama “Lapor Pak Purbaya”, sebagai jalur langsung bagi masyarakat untuk melapor jika menemukan perilaku menyimpang, pungutan liar, atau pelayanan buruk di lingkungan pajak dan bea cukai.

Melalui kanal ini, masyarakat bisa langsung mengirimkan laporan lewat WhatsApp ke nomor 0822-4040-6600, mulai Rabu (15/10). Layanan ini hadir sebagai bagian dari komitmen Purbaya untuk memperkuat integritas, transparansi, dan akuntabilitas di tubuh Kementerian Keuangan.

“Kalau ada yang nakal, laporkan ke saya. Jangan takut. Negara butuh pegawai yang jujur dan profesional,” tegas Purbaya saat peluncuran program di Jakarta.

Kanal aduan tersebut dikelola oleh tim khusus yang siaga 24 jam menerima pesan masyarakat. Setiap laporan akan diverifikasi dan disortir sebelum ditindaklanjuti ke unit pengawasan terkait, dengan jaminan penuh terhadap kerahasiaan identitas pelapor.

Purbaya menegaskan, reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan tidak boleh berhenti pada sistem digital semata. Yang lebih penting, kata dia, adalah membangun budaya bersih dan berani bertanggung jawab di seluruh lini pelayanan publik.

“Teknologi membantu, tapi keberanian masyarakat melapor dan komitmen aparat menjaga etika jauh lebih penting,” ujarnya.

Langkah ini disambut antusias oleh pelaku usaha dan pengamat fiskal. Mereka menilai “Lapor Pak Purbaya” sebagai terobosan berani yang bisa mempersempit ruang penyimpangan dan memperkuat iklim investasi yang sehat.

Kini, masyarakat punya senjata baru untuk mengawasi langsung pelayanan pajak dan kepabeanan.

Cukup satu nomor WhatsApp dan setiap suara rakyat bisa sampai langsung ke meja Menteri Keuangan.

Purbaya: Tak Ada BPN, Fokus Benahi Pajak dan Cukai dari Dalam

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) belum terealisasi. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, dirinya tak ingin menambah lembaga baru, tapi justru mengerahkan tenaga penuh untuk membenahi dua mesin utama penerimaan negara: pajak dan bea cukai.

“Untuk sementara kayaknya enggak akan dibangun. Pajak dan bea cukai tetap di Kemenkeu, dan saya yang langsung membawahi,” ujar Purbaya di kantornya, Jakarta, Selasa (14/10/2025).

Menurutnya, Presiden sudah memberi mandat jelas: perbaiki dari dalam, bukan bentuk yang baru. Purbaya pun memilih jalur reformasi struktural agar penerimaan negara benar-benar bisa tumbuh berkelanjutan tanpa menambah lapisan birokrasi.

“Fokus saya memperkuat yang ada, menutup kebocoran, dan mendisiplinkan aparat di lapangan. Reformasi bukan cuma soal sistem, tapi juga soal mental,” tegasnya.

Langkah ini menunjukkan gaya kepemimpinan Purbaya yang lebih pragmatis dan berorientasi hasil. Ia yakin, lewat pembenahan internal yang masif, rasio pajak bisa terdongkrak 0,5% tahun depan, atau setara tambahan penerimaan lebih dari Rp110 triliun.

“Dengan sektor riil yang mulai hidup, kenaikan itu bisa datang alami. Kita tinggal pastikan sistemnya bersih dan pegawainya disiplin,” katanya optimistis.

Keputusan Purbaya ini sekaligus menepis spekulasi bahwa Kemenkeu akan melepas sebagian kewenangannya ke lembaga baru. Justru sebaliknya, ia ingin membuktikan reformasi fiskal bisa sukses tanpa bongkar struktur.

Langkah “gaspol” Purbaya di awal kepemimpinannya ini pun menjadi sinyal bahwa penerimaan negara bukan soal lembaga baru, tapi soal kemauan untuk berubah.

Dirjen Pajak Bidik Rp 20 Triliun Sebelum Tahun Berganti dari Wajib Pajak Besar

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menargetkan bisa mengantongi Rp 20 triliun dari hasil penagihan tunggakan pajak milik 200 wajib pajak besar hingga akhir 2025. Total piutang negara yang masih menggantung dari kelompok pengemplang besar itu mencapai Rp 60 triliun.

Target tersebut ia sampaikan setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menantangnya untuk memastikan kemampuan penagihan nyata di lapangan.

“Dari hasil Rapimnas, mohon izin Pak, sekitar Rp 20 triliun bisa kami kejar. Tapi memang ada beberapa yang sedang kesulitan likuiditas dan minta restrukturisasi utang diperpanjang,” ungkap Bimo di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (14/10/2025).

Hingga pertengahan Oktober, Ditjen Pajak telah mengantongi Rp 7,21 triliun dari hasil penagihan tersebut—naik Rp 216 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Dari total 200 pengemplang, 91 wajib pajak sudah mulai mencicil kewajibannya, sementara 5 wajib pajak dinyatakan macet karena krisis likuiditas.

Sisanya, 27 wajib pajak sudah pailit, 4 dalam pengawasan aparat penegak hukum, 5 tengah dalam penelusuran aset (asset tracing), 9 masuk daftar pencegahan ke luar negeri, dan 1 wajib pajak telah disandera (gijzeling).

“Yang sudah kami lakukan pencegahan terhadap beneficial owner ada sembilan, satu dalam proses penyanderaan, dan sisanya 59 masih kami tindak lanjuti,” jelas Bimo.

Langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah menutup tahun fiskal dengan pendekatan tegas terhadap para pengemplang besar. Jika target Rp 20 triliun tercapai, itu akan menjadi salah satu capaian penagihan piutang pajak terbesar dalam sejarah Ditjen Pajak.

Login e-Tax Court Tak Lagi Ribet, NPWP Lama dan Baru Kini Bisa Dipakai

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Wajib Pajak kini bisa bernapas lega. Pengadilan Pajak akhirnya memperluas akses sistem e-Tax Court dengan fitur login yang lebih fleksibel. Pengguna kini dapat masuk menggunakan NPWP lama (15 digit) maupun NPWP baru (16 digit) tanpa harus membuat akun baru.

Langkah ini menjadi angin segar di tengah masa transisi menuju sistem perpajakan terpadu Coretax milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

“Login dengan NPWP 16 atau 15 digit bersifat fleksibel. Artinya, SobatPP bisa masuk menggunakan NPWP 16 digit meskipun saat registrasi akun e-Tax Court memakai NPWP 15 digit,” tulis Pengadilan Pajak dalam unggahan di akun Instagram resminya, @setPP.kemenkeu, dikutip, Minggu (12/10/25).

Sebagaimana diketahui, DJP telah memberlakukan tiga jenis identitas perpajakan baru di era Coretax, yakni NIK sebagai NPWP, NPWP 16 digit, dan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU). Namun, NPWP 15 digit masih sah digunakan selama masa penyesuaian berlangsung.

Dengan kebijakan terbaru ini, wajib pajak tidak perlu khawatir kehilangan akses saat melakukan banding atau gugatan pajak di Pengadilan Pajak.

Kendati fleksibel, pengguna tetap diminta berhati-hati saat login.

“NPWP 16 digit di-input di halaman login NPWP 16 digit, dan NPWP 15 digit di-input di halaman login NPWP 15 digit,” tegas Pengadilan Pajak.

Akses sistem dapat dilakukan melalui laman resmi https://etaxcourt.kemenkeu.go.id. Setelah mengisi data, password, memilih peran (Wajib Pajak atau Kuasa Hukum), dan menyelesaikan verifikasi Captcha, pengguna dapat langsung mengelola administrasi sengketa pajak secara elektronik.

Transformasi Digital Layanan Sengketa

Platform e-Tax Court menjadi bagian dari modernisasi besar-besaran dalam sistem peradilan pajak. Melalui aplikasi ini, seluruh proses administrasi — mulai dari pendaftaran sengketa, pengajuan banding atau gugatan, pengiriman surat uraian, hingga pemanggilan sidang — dapat dilakukan tanpa kertas.

Transformasi ini tidak hanya memangkas birokrasi, tapi juga memperkuat transparansi dan efisiensi proses hukum di ranah perpajakan.

Pengadilan Pajak mengimbau wajib pajak untuk mempelajari panduan lengkap melalui laman https://setpp.kemenkeu.go.id/peraturan/Details/117.

Dengan kebijakan ini, Pengadilan Pajak menegaskan satu hal: era digitalisasi sengketa pajak kini benar-benar dimulai — tanpa lagi dibatasi format angka di NPWP.

Efek TER Buat Angka Lebih Bayar Pajak Tinggi, Kemenkeu Rencanakan Tinjau Ulang

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Kebijakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang diberlakukan sejak 2024 ternyata meninggalkan jejak fiskal yang nyata: pemerintah mencatat lebih bayar PPh 21 sebesar Rp16,5 triliun akibat implementasi skema ini sebuah bantalan yang membuat arus kas penerimaan negara tertekan pada awal 2025.  

Menanggapi dampak itu, Kementerian Keuangan sekarang membuka pintu untuk peninjauan ulang. Yon Arsal, Staf Ahli Menkeu bidang Kepatuhan Pajak, mengatakan revisi bukanlah hal yang tabu melainkan bagian dari proses normal setelah kebijakan berjalan selama dua tahun. “Apakah akan direvisi atau tidak nanti tergantung hasil evaluasi. Sekarang lagi dievaluasi,” ujar Yon, Jumat (10/10/2025).

Konfirmasi serupa datang dari puncak fiskus. Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyatakan bahwa ketentuan teknis dalam PMK 168/2023 tengah dikaji, di sela acara penandatanganan kerja sama lintas-institusi antara DJP, BPKP, dan PPATK. Pernyataan itu mempertegas bahwa evaluasi bersifat institusional dan terkoordinasi.  

Skema TER sendiri lahir dari rangkaian regulasi akhir 2023: Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 memberi dasar penggunaan tarif efektif, sementara PMK 168/2023 mengatur teknis pemotongan termasuk pembagian TER bulanan dan harian serta aturan khusus pada masa Desember yang kembali memakai tarif progresif Pasal 17 UU PPh. Intinya: dari Januari–November pemotongan dapat memakai TER; Desember dihitung final memakai Pasal 17.  

Di lapangan, problemnya bukan semata angka tarif  melainkan kesesuaian antara metode pemotongan dan realitas penghasilan pekerja. Untuk pegawai berpenghasilan fluktuatif atau yang perubahan statusnya selama tahun fiskal, TER berpotensi menimbulkan potongan berlebih di awal sehingga berujung pada klaim restitusi massal di kemudian hari. Proses pengembalian kelebihan itu yang membuat tekanan pada realisasi penerimaan.  

Apa implikasinya? Jika evaluasi menemukan perlunya koreksi, pemerintah punya beberapa opsi: memperbaiki lapisan tarif TER, membedakan perlakuan berdasarkan jenis penghasilan (stabil vs. fluktuatif), atau menajamkan aturan rekonsiliasi akhir tahun agar jumlah restitusi tidak menumpuk. Di sisi lain, perubahan kebijakan butuh komunikasi matang agar perusahaan payroll, software akuntansi, dan wajib pajak tidak kebingungan saat implementasi. (Sumber: regulasi dan pernyataan Kemenkeu/DJP).  

Bagi publik dan pemangku kepentingan, momen ini juga jadi sinyal: sederhana tidak selalu sama dengan tepat  terutama bila menyentuh arus kas negara. Pengamat perpajakan menilai, evaluasi harus menyeimbangkan dua tujuan sekaligus: mengefisienkan administrasi pemotongan dan menjaga stabilitas penerimaan. Jika disepakati, revisi teknis bisa diumumkan pada akhir 2025 atau awal 2026, setelah kajian lengkap dan konsultasi pemangku kepentingan.