Efek TER Buat Angka Lebih Bayar Pajak Tinggi, Kemenkeu Rencanakan Tinjau Ulang

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Kebijakan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang diberlakukan sejak 2024 ternyata meninggalkan jejak fiskal yang nyata: pemerintah mencatat lebih bayar PPh 21 sebesar Rp16,5 triliun akibat implementasi skema ini sebuah bantalan yang membuat arus kas penerimaan negara tertekan pada awal 2025.  

Menanggapi dampak itu, Kementerian Keuangan sekarang membuka pintu untuk peninjauan ulang. Yon Arsal, Staf Ahli Menkeu bidang Kepatuhan Pajak, mengatakan revisi bukanlah hal yang tabu melainkan bagian dari proses normal setelah kebijakan berjalan selama dua tahun. “Apakah akan direvisi atau tidak nanti tergantung hasil evaluasi. Sekarang lagi dievaluasi,” ujar Yon, Jumat (10/10/2025).

Konfirmasi serupa datang dari puncak fiskus. Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyatakan bahwa ketentuan teknis dalam PMK 168/2023 tengah dikaji, di sela acara penandatanganan kerja sama lintas-institusi antara DJP, BPKP, dan PPATK. Pernyataan itu mempertegas bahwa evaluasi bersifat institusional dan terkoordinasi.  

Skema TER sendiri lahir dari rangkaian regulasi akhir 2023: Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 memberi dasar penggunaan tarif efektif, sementara PMK 168/2023 mengatur teknis pemotongan termasuk pembagian TER bulanan dan harian serta aturan khusus pada masa Desember yang kembali memakai tarif progresif Pasal 17 UU PPh. Intinya: dari Januari–November pemotongan dapat memakai TER; Desember dihitung final memakai Pasal 17.  

Di lapangan, problemnya bukan semata angka tarif  melainkan kesesuaian antara metode pemotongan dan realitas penghasilan pekerja. Untuk pegawai berpenghasilan fluktuatif atau yang perubahan statusnya selama tahun fiskal, TER berpotensi menimbulkan potongan berlebih di awal sehingga berujung pada klaim restitusi massal di kemudian hari. Proses pengembalian kelebihan itu yang membuat tekanan pada realisasi penerimaan.  

Apa implikasinya? Jika evaluasi menemukan perlunya koreksi, pemerintah punya beberapa opsi: memperbaiki lapisan tarif TER, membedakan perlakuan berdasarkan jenis penghasilan (stabil vs. fluktuatif), atau menajamkan aturan rekonsiliasi akhir tahun agar jumlah restitusi tidak menumpuk. Di sisi lain, perubahan kebijakan butuh komunikasi matang agar perusahaan payroll, software akuntansi, dan wajib pajak tidak kebingungan saat implementasi. (Sumber: regulasi dan pernyataan Kemenkeu/DJP).  

Bagi publik dan pemangku kepentingan, momen ini juga jadi sinyal: sederhana tidak selalu sama dengan tepat  terutama bila menyentuh arus kas negara. Pengamat perpajakan menilai, evaluasi harus menyeimbangkan dua tujuan sekaligus: mengefisienkan administrasi pemotongan dan menjaga stabilitas penerimaan. Jika disepakati, revisi teknis bisa diumumkan pada akhir 2025 atau awal 2026, setelah kajian lengkap dan konsultasi pemangku kepentingan.

Purbaya Tahan Pajak E-Commerce: “Belum Waktunya, Ekonomi Harus Pulih Dulu!”

(Foto: Istimewa)

RBDCOTAX, Jakarta: Rencana pemerintah memungut pajak dari transaksi niaga elektronik (e-commerce) tampaknya belum akan dijalankan dalam waktu dekat. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, kebijakan tersebut baru akan diterapkan jika ekonomi Indonesia benar-benar sudah pulih dan tumbuh di atas 6 persen.

“Akan kita jalankan kalau ekonomi sudah recover. Sekarang belum sepenuhnya pulih. Kalau nanti pertumbuhan sudah 6 persen atau lebih, baru saya pertimbangkan,” ujar Purbaya di Jakarta, Kamis (9/10/2025).

Dengan nada santai namun tegas, Purbaya menekankan bahwa keputusan akhir berada di tangannya. “Kan menterinya saya,” ujarnya.

Pernyataan ini sekaligus menegaskan bahwa pemerintah tidak ingin terburu-buru menambah beban pajak baru di tengah pemulihan ekonomi. Meski demikian, kerangka regulasi pajak e-commerce sejatinya sudah disiapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025.

Aturan tersebut mengatur tentang pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 bagi pedagang daring dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun dengan tarif 0,5 persen. Bedanya, dalam skema baru ini, pemungutan akan dilakukan langsung oleh platform lokapasar seperti marketplace atau aplikasi penjualan daring.

Selain mempermudah kepatuhan, aturan ini juga dirancang untuk menekan praktik ekonomi bayangan (shadow economy) yang selama ini marak di sektor digital  terutama dari pedagang yang belum terdaftar sebagai wajib pajak.

Namun hingga kini, semua masih menunggu lampu hijau dari Menkeu. Bagi Purbaya, langkah pajak digital harus diambil pada waktu yang tepat, bukan sekadar untuk mengejar penerimaan.

“Kita ingin ekonomi tumbuh kuat dulu. Kalau pondasinya belum kokoh, jangan dibebani dulu,” tandasnya.

Dengan sikap itu, Purbaya mengirim sinyal bahwa keberlanjutan ekonomi tetap menjadi prioritas utama  sementara pajak e-commerce masih harus sabar menunggu giliran.

Uang Pajak Belum Kembali? Bisa Jadi Gara-Gara Nomor Rekeningmu Belum Didaftarkan di Coretax!

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Sudah menunggu lama tapi pengembalian pajak belum juga masuk rekening? Hati-hati, bisa jadi penyebabnya sepele: nomor rekening belum terdaftar di Coretax! Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan seluruh wajib pajak agar segera memeriksa dan memperbarui data rekening bank di sistem Coretax.

Pasalnya, berdasarkan Pasal 158 ayat (1) PMK Nomor 81 Tahun 2024, Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak akan menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) maupun Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga (SPMIB) bila nomor rekening wajib pajak tidak tercantum di profil Coretax.

“Semua proses pengembalian dana hanya bisa dilakukan ke rekening utama yang terverifikasi. Kalau belum ada, ya pengembaliannya otomatis tertunda,” ujar sumber internal DJP yang enggan disebutkan namanya, Selasa (7/10).

Cek Dulu Sebelum Menyesal

Untuk memastikan rekeningmu sudah terdaftar, cukup masuk ke modul Portal Saya di Coretax, lalu pilih Profil Saya → Detail Bank.

Di sana, wajib pajak bisa melihat daftar rekening lengkap beserta nama bank, nomor rekening, jenis rekening, status utama, dan tanggal validitasnya.

Kalau belum ada atau salah? Tenang, bisa langsung diperbarui!

Langkahnya:

1. Masuk ke Portal Saya → Perubahan Data → Identitas Wajib Pajak.

2. Scroll ke bagian Rekening Bank, lalu centang Perbarui Rekening Bank Utama.

3. Isi data lengkap sesuai rekening aktif.

4. Unggah bukti pendukung seperti halaman pertama buku tabungan.

5. Simpan dan tunggu proses validasi.

Jangan Sepelekan Update Data

Perubahan kecil seperti nomor rekening ternyata bisa berdampak besar. Tanpa data yang benar, uang kelebihan bayar pajak tak bisa dikembalikan meski seluruh proses administrasi sudah beres.

DJP juga menegaskan, bagi wajib pajak dengan lebih dari satu rekening, hanya rekening yang ditandai sebagai “Rekening Bank Utama” yang akan digunakan untuk transaksi pengembalian pajak.

Dengan sistem Coretax yang semakin canggih, pemerintah berharap restitusi pajak bisa cair lebih cepat dan tanpa hambatan. Tapi ingat tanpa rekening yang valid, uang pajakmu akan tetap “nyangkut di sistem.”

DJP Punya Senjata Baru, Kebijakan Data Konkret Siap Bongkar Pengemplang Pajak!

(Foto: Istimewa)

RBDCOTAX, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini tak main-main dalam mengejar para pengemplang pajak. Melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor 18 Tahun 2025 tentang Tindak Lanjut Data Konkret, otoritas pajak resmi memiliki “senjata baru” untuk menelusuri setiap celah penghindaran pajak.

Aturan yang terbit pada 24 September 2025 ini menjadi turunan dari PMK Nomor 15 Tahun 2025 tentang Pemeriksaan Pajak, dan memperkuat legalitas DJP dalam menggunakan data faktual untuk membongkar ketidaksesuaian laporan wajib pajak (WP).

“Data konkret” dalam beleid ini mencakup segala informasi yang bisa dijadikan bukti, mulai dari faktur pajak yang tidak dilaporkan dalam SPT, bukti potong PPh yang diabaikan, hingga data transaksi finansial yang tidak sejalan dengan penghasilan yang dilaporkan.

DJP merinci delapan indikator utama yang menjadi fokus pengawasan mulai dari kelebihan kompensasi PPN tanpa dasar kuat, penggunaan pajak masukan oleh WP yang tidak berhak, hingga pemanfaatan insentif pajak secara tidak sesuai ketentuan. Data yang sudah pernah dikonfirmasi tapi tak ditindaklanjuti juga bisa langsung dijadikan dasar penetapan pajak baru.

Kebijakan ini diharapkan menjadi tameng bagi wajib pajak yang patuh sekaligus “alarm keras” bagi mereka yang mencoba bermain curang.

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan pemerintah akan bertindak tegas terhadap para penunggak pajak besar yang masih menunda kewajiban meski kasusnya sudah berkekuatan hukum tetap.

“Kami sudah petakan sekitar 200 pengemplang pajak besar dengan total kewajiban mencapai Rp60 triliun. Tahun ini harus masuk ke kas negara. Kalau tidak, hidupnya bakal susah di sini,” tegas Purbaya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (23/9/2025).

Ia menyebutkan bahwa mulai 2026, Kementerian Keuangan akan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk menelusuri aset, transaksi, dan kepatuhan para penunggak pajak kakap. Namun, di sisi lain, pemerintah juga menjamin perlindungan penuh bagi wajib pajak yang sudah taat.

“Kalau sudah bayar pajak, jangan diganggu. Tidak ada lagi cerita pegawai pajak yang meras-meras wajib pajak,” ujarnya tegas.

Untuk memastikan hal itu, Purbaya berencana membuka saluran pengaduan langsung agar masyarakat bisa melaporkan setiap penyimpangan di lapangan.

Dengan aturan baru ini, DJP menunjukkan arah kebijakan yang lebih tajam dan transparan: menghukum yang curang, melindungi yang patuh, dan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan nasional.

DPR Dorong Insentif Pajak untuk Industri Film: Saatnya Indonesia Jadi Pusat Kreatif Asia!

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Sinyal dukungan kuat bagi kebangkitan industri film nasional datang dari Komisi VII DPR RI. Wakil Ketua Komisi VII Chusnunia Chalim menegaskan pihaknya siap memperjuangkan keringanan pajak dan insentif fiskal bagi sektor perfilman dan animasi, agar Indonesia tak hanya jadi pasar, tapi juga pemain utama di panggung internasional.

Pernyataan itu disampaikan Chusnunia saat melakukan kunjungan kerja ke Infinite Studios di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Nongsa Digital Park, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (2/10/2025).

“Industri film Indonesia punya potensi besar. Secara teknis kita lebih efisien, tapi sayangnya belum punya insentif pajak seperti negara tetangga. Ini yang akan kami perjuangkan bersama Kementerian Keuangan,” tegasnya.

Ia mencontohkan, di negara-negara seperti Malaysia dan Thailand, biaya produksi film lebih tinggi, tetapi pemerintah mereka memberi potongan pajak hingga 30–40 persen. Alhasil, investor global justru lebih tertarik menanamkan modal di sana.

“Kita kalah bukan karena kualitas, tapi karena dukungan fiskal yang belum memadai,” tambahnya.

Sebagai bentuk keseriusan, Chusnunia membuka peluang pembentukan Panitia Kerja (Panja) Ekonomi Kreatif untuk memperjuangkan kebutuhan industri kreatif, mulai dari tax rebate, kemudahan perizinan, hingga tambahan anggaran.

“Begitu dua panja yang sedang kami rampungkan selesai, kami akan dorong Panja Ekonomi Kreatif. Kita butuh langkah konkret untuk menjadikan Indonesia basis produksi film Asia,” ujarnya.

Sementara itu, Staf Ahli Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Bidang Sistem Pemasaran dan Infrastruktur, Septriana Tangkary, menilai kebijakan pajak merupakan kunci bagi keberlanjutan industri kreatif.

“Banyak pelaku industri merasa tertekan dengan pajak yang tinggi. Perlu ada formula baru yang meringankan mereka agar tetap bisa tumbuh dan bersaing,” katanya.

Dari sisi pelaku usaha, General Manager Infinite Studios Batam, Ghea Lisanova, menekankan bahwa tanpa dukungan fiskal, Indonesia akan sulit menarik proyek animasi dan produksi film besar.

“Thailand memberi insentif 30 persen, Malaysia 40 persen. Kalau Indonesia bisa menyaingi itu, investor pasti datang,” ujarnya optimistis.

Ghea menambahkan, industri film bukan hanya soal hiburan, melainkan ekosistem ekonomi kreatif yang menyerap banyak tenaga kerja, dari animator, penulis naskah, sutradara, hingga talenta digital muda.

Dengan dukungan kebijakan pajak yang berpihak, Indonesia berpeluang besar menjadi hub produksi film dan animasi di Asia Tenggara, sejajar dengan negara-negara yang lebih dulu melangkah.

“Kalau kebijakan pajaknya berpihak, jangan kaget kalau dalam lima tahun ke depan film-film besar dunia justru syutingnya di Batam, bukan Bangkok,” kata Ghea, menutup dengan nada optimistis.