Pajak Karbon Jadi Senjata Baru Pemerintah Kendalikan Emisi dan Dorong Investasi Hijau

RBDCOTAX, Jakarta: Pemerintah resmi meluncurkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), yang menandai babak baru strategi transisi energi Indonesia. Regulasi yang diundangkan pada 15 September 2025 ini tak hanya menjadi peta jalan menuju net zero emission 2060, tetapi juga memperkenalkan pajak karbon sebagai senjata fiskal utama dalam menekan emisi gas rumah kaca (GRK).

Kebijakan ini menegaskan komitmen Indonesia untuk berpindah dari energi fosil menuju sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Pemerintah menyatakan, kebijakan energi nasional ke depan akan berporos pada tiga hal: penerapan pajak karbon, insentif fiskal untuk energi bersih, dan mekanisme nilai ekonomi karbon (NEK).

“Energi bersih tidak hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang insentif ekonomi. Pajak karbon akan menjadi katalis agar dunia usaha lebih serius menurunkan emisinya,” demikian penegasan dalam naskah penjelasan PP 40/2025.

Sesuai Pasal 83 ayat (1), pajak karbon akan diterapkan terhadap pemanfaatan energi tak terbarukan, seperti batu bara dan bahan bakar fosil lain, dengan mekanisme bertahap. Langkah ini dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan lingkungan dan stabilitas ekonomi nasional.

Sementara itu, Pasal 83 ayat (2) menjabarkan bahwa penerapan pajak karbon dilakukan berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024. Kebijakan ini akan difokuskan pada tiga sektor penghasil emisi terbesar, yakni transportasi, industri, dan pembangkitan listrik.

Namun, di sisi lain, pemerintah tak ingin kebijakan ini membebani pelaku usaha yang sudah berupaya beralih ke energi bersih. Karena itu, PP 40/2025 juga menyiapkan berbagai bentuk insentif fiskal, mulai dari pengurangan PPh, PBB, bea masuk, retribusi daerah, hingga keringanan PNBP bagi entitas yang berinvestasi dalam energi baru dan terbarukan (EBT).

Lebih jauh, aturan baru ini juga memperkuat penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) — sebuah konsep yang memberi nilai finansial pada setiap ton emisi GRK yang berhasil dikurangi. Melalui mekanisme ini, pemerintah dan pelaku usaha dapat memperoleh insentif berbasis kinerja atas upaya nyata mereka dalam menekan emisi di sektor energi.

NEK tidak hanya dimaksudkan sebagai alat ukur, tetapi juga sebagai instrumen pasar untuk memacu inovasi teknologi rendah karbon, diversifikasi energi, dan efisiensi energi nasional. Dengan kata lain, semakin besar kontribusi pengurangan emisi, semakin besar pula potensi imbalan ekonominya.

Penerbitan PP 40/2025 sekaligus mencabut Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2014 yang selama ini menjadi dasar Kebijakan Energi Nasional. Langkah ini menandai perubahan paradigma besar — dari sekadar penyediaan energi untuk pertumbuhan ekonomi, menjadi pengelolaan energi untuk masa depan berkelanjutan.

DJP Nyalakan Mode “Perang Akhir Tahun”, Terapkan Strategi Micro Management

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Menjelang tutup tahun fiskal, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memasuki fase yang disebut “mode perang”. Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan, otoritas pajak kini menerapkan strategi micro management super ketat untuk memastikan target penerimaan negara tidak jebol dari ambang shortfall.

Hingga akhir 2025, penerimaan pajak diperkirakan baru akan mencapai Rp 2.076,9 triliun, padahal target yang ditetapkan mencapai Rp 2.189,3 triliun. Artinya, ada potensi celah sebesar Rp 112,4 triliun yang harus ditutup hanya dalam waktu tiga bulan tersisa.

Dari laporan per September 2025, DJP baru mengantongi Rp 1.295,3 triliun penerimaan. Dengan begitu, sekitar Rp 781,6 triliun harus berhasil dikumpulkan di kuartal keempat—periode yang selalu menjadi final battle bagi fiskus.

“Sekarang kita sudah mulai micro management untuk collection,” ungkap Bimo di sela kegiatan di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (22/10/2025).

Ia menegaskan, fokus utama DJP saat ini bukan lagi sekadar mengejar volume pajak, tetapi menyisir satu per satu wajib pajak besar yang berpotensi kurang bayar.

“Kita pantau betul semua wajib pajak. Kita minta daftar dari seluruh kanwil siapa yang punya potensi besar, lalu kita ukur kepatuhannya. Kalau ada celah, langsung kita dorong supaya optimal,” tegasnya.

Langkah micro management ini ibarat operasi bedah pajak presisi, di mana setiap data, profil, dan perilaku wajib pajak besar menjadi bahan analisis utama. Bimo memastikan, pengawasan yang lebih dalam ini bukan bentuk tekanan, melainkan bagian dari compliance drive agar para kontributor utama negara menunaikan kewajibannya secara penuh dan tepat waktu.

“Tujuannya sederhana: tutup celah, tingkatkan kepatuhan, dan amankan target,” ujarnya singkat namun penuh makna.

Dengan pendekatan ultra-detail ini, DJP berharap lonjakan penerimaan di kuartal IV dapat menghapus potensi shortfall dan menutup tahun fiskal 2025 dengan hasil yang tetap solid di tengah tekanan ekonomi global.

Sektor Digital Kian Perkasa, Sumbang Rp 42,53 Triliun Pajak ke Kas Negara Hingga September 2025

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Ledakan ekonomi digital bukan sekadar tren teknologi, tapi kini benar-benar jadi mesin baru penggerak penerimaan negara. Hingga 30 September 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat pajak dari sektor digital mencapai angka fantastis Rp 42,53 triliun!

“Capaian ini bukan angka biasa. Ini bukti bahwa dunia digital telah menjadi sumber tenaga baru bagi pertumbuhan penerimaan pajak Indonesia,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, Rabu (22/10/2025).

Menurutnya, empat sektor utama menjadi penopang besarnya kontribusi itu: PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), pajak aset kripto, pajak fintech, dan pajak melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP).

Dari keempatnya, PPN PMSE menjadi primadona dengan sumbangan mencapai Rp 32,94 triliun. Pemerintah sejauh ini telah menunjuk 246 perusahaan digital global dan lokal sebagai pemungut pajak digital, termasuk nama-nama baru seperti Viagogo GMBH, Coursiv Limited, Ogury Singapore, BMI GlobalEd Limited, dan GetYourGuide.

“Dari 246 pemungut, sebanyak 207 di antaranya telah aktif menyetorkan pajak ke kas negara. Artinya, sektor digital sudah semakin patuh dan terintegrasi dalam sistem perpajakan nasional,” jelas Rosmauli.

Kinerja PPN PMSE juga terus menanjak setiap tahun mulai dari Rp 731 miliar pada 2020, melonjak jadi Rp 3,9 triliun pada 2021, Rp 5,51 triliun di 2022, Rp 6,76 triliun pada 2023, hingga Rp 8,44 triliun di 2024. Hingga September 2025, penerimaan sudah menyentuh Rp 7,6 triliun, menandakan potensi yang belum berhenti tumbuh.

Sementara itu, pajak aset kripto ikut memperlihatkan geliat kuat dengan total penerimaan Rp 1,71 triliun. Pajak ini berasal dari transaksi di berbagai platform perdagangan aset digital yang semakin ramai digunakan masyarakat. Komposisinya terdiri dari PPh 22 sebesar Rp 836,36 miliar dan PPN Dalam Negeri Rp 872,62 miliar.

Tak ketinggalan, fintech atau layanan keuangan berbasis teknologi juga jadi kontributor besar dengan Rp 4,1 triliun penerimaan pajak hingga September 2025. Penerimaan ini mencakup PPh 23 dan PPh 26 atas bunga pinjaman, serta PPN Dalam Negeri atas setoran masa.

Sedangkan pajak dari Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) menambah kas negara sebesar Rp 3,78 triliun, terdiri dari PPh Pasal 22 sebesar Rp 251,14 miliar dan PPN sebesar Rp 3,53 triliun.

Rosmauli menegaskan, capaian Rp 42,53 triliun ini bukan sekadar hasil pemungutan, tapi gambaran nyata transformasi digital perpajakan yang berjalan masif. “Ekonomi digital bukan lagi sektor pinggiran. Ia sudah menjadi pilar baru penerimaan negara, dan DJP akan terus memperkuat tata kelola serta kolaborasi lintas sektor agar potensi pajak digital semakin optimal,” tegasnya.

Dengan kontribusi yang terus melesat, sektor digital kini bukan hanya simbol inovasi tapi juga urat nadi baru APBN di tengah pergeseran ekonomi menuju era serba daring.

Tak Main-Main! Dirjen Pajak Siap Pecat Pegawai Nakal yang Palak Wajib Pajak

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan tidak akan memberi ruang sedikit pun bagi pegawai pajak yang menyalahgunakan jabatan. Ia memastikan siap memecat siapa pun yang terbukti melakukan pemalakan atau aksi premanisme terhadap wajib pajak.

“Sejak awal saya sudah bilang, fraud sedikit pun akan saya tindak, bahkan saya pecat,” ujar Bimo dengan nada tegas dalam Media Briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Senin (20/10/2025).

Pernyataan keras itu muncul setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melaporkan adanya dugaan aksi premanisme oleh seorang Account Representative (AR) di KPP Tigaraksa, Banten. Dugaan itu mencuat usai laporan yang masuk melalui kanal Lapor Pak Purbaya.

Bimo mengaku telah menginstruksikan Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) untuk menelusuri laporan tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa informasi awal masih terbatas karena laporan disampaikan melalui pesan singkat.

“Laporannya belum lengkap. Kami harus klarifikasi dan konfirmasi langsung kepada pelapor agar bisa tahu siapa yang dimaksud dan sejauh mana indikasinya,” jelasnya.

Bimo menerangkan, setiap laporan yang masuk ke kanal Lapor Pak Purbaya dikelompokkan menjadi dua: laporan perbaikan kebijakan dan laporan administratif. Bila laporan itu mengandung unsur kecurangan, maka akan langsung diproses melalui unit anti-fraud DJP dan sistem Whistleblowing Kementerian Keuangan.

“Kalau memang signifikan dan terbukti, kami tak akan ragu tindak. Tapi pelapor juga harus menyampaikan bukti konkret, supaya prosesnya cepat dan akurat,” kata Bimo.

Sebelumnya, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa secara terbuka mengungkapkan kekecewaannya atas laporan tersebut. Ia bahkan berjanji akan turun langsung memastikan KPP Tigaraksa bersih dari oknum yang bertingkah bak preman.

“Minggu depan harus sudah bersih, nggak boleh ada premanisme. Kalau benar ada yang maksa-maksa minta duit, itu sudah kebangetan,” tegas Purbaya.

Langkah cepat DJP ini menjadi sinyal kuat bahwa reformasi birokrasi pajak tidak main-main. Bimo menegaskan, era pegawai pajak yang arogan sudah lewat. Kini DJP berkomitmen membangun budaya pelayanan yang berintegritas dan transparan.

“Pegawai pajak bukan penguasa, tapi pelayan. Kepercayaan masyarakat itu modal utama kami, dan tidak boleh dirusak oleh oknum,” tutupnya.

Trump Ancam India dengan Tarif Impor Jumbo Jika Tak Hentikan Minyak Rusia

(Foto: Istimewa)

RBDCOTAX, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengguncang panggung geopolitik dengan ancaman tajam terhadap India. Dalam pernyataannya di atas pesawat kepresidenan Air Force One, Minggu (19/10/2025), Trump menegaskan bahwa New Delhi akan dikenai tarif impor besar-besaran jika tetap nekat membeli minyak dari Rusia.

“Saya sudah berbicara dengan Perdana Menteri Modi, dan dia mengatakan tidak akan melanjutkan urusan minyak Rusia,” ujar Trump kepada wartawan, dikutip Senin (20/10/2025).

Namun, suasana segera memanas setelah pemerintah India menampik adanya percakapan seperti yang diklaim Trump. Alih-alih meredakan ketegangan, sang presiden justru merespons dengan gaya khasnya yang blak-blakan dan penuh tekanan.

“Kalau mereka mau bilang begitu, ya silakan saja. Tapi mereka akan terus membayar tarif yang sangat besar, dan mereka tidak mau itu terjadi,” tegas Trump, menandai babak baru dalam tekanan ekonomi Washington terhadap India.

Langkah Trump ini dianggap sebagai bagian dari strategi besar AS untuk mengekang arus uang yang mengalir ke Moskow melalui penjualan energi, di tengah sanksi ekonomi global akibat invasi Rusia ke Ukraina. Bagi Gedung Putih, setiap barel minyak yang dibeli dari Rusia adalah “oksigen” bagi mesin perang Kremlin.

Meski begitu, India selama ini dikenal lihai menjaga keseimbangan hubungan diplomatiknya. Negara itu tetap membeli minyak murah dari Rusia demi menahan lonjakan inflasi dan menjaga suplai energi nasional, sekaligus tetap berusaha mempertahankan kerja sama strategis dengan Washington di bidang teknologi dan pertahanan.

Ancaman tarif besar dari AS bisa menjadi ujian berat bagi pemerintahan Narendra Modi. Di satu sisi, India membutuhkan stabilitas ekonomi domestik. Di sisi lain, konfrontasi dengan AS berisiko mengguncang pasar dan hubungan dagang yang bernilai miliaran dolar.

Pengamat menilai, gaya diplomasi Trump yang keras dan penuh tekanan mencerminkan kembalinya politik luar negeri AS yang lebih transaksional. “Trump menegaskan kembali pesan lamanya: kalau tidak ikut kebijakan kami, bersiaplah menanggung konsekuensinya,” ujar seorang analis hubungan internasional di Washington.

Ancaman ini sekaligus membuka babak baru dalam ketegangan global energi, di mana India kini berada di antara dua kekuatan besar Rusia dan Amerika Serikat yang sama-sama memainkan kartu minyak untuk mempertahankan pengaruhnya di panggung dunia.

Jepang Naikkan Pajak dan Biaya untuk Warga Asing, dari Visa hingga Pajak Bandara

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Pemerintah Jepang bersiap melakukan perubahan besar dalam kebijakan fiskalnya dengan menaikkan berbagai biaya yang dibebankan kepada warga negara asing (WNA) dan wisatawan. Langkah ini mencakup kenaikan pajak keberangkatan, revisi tarif visa, serta penerapan sistem pra-penyaringan digital bagi pengunjung luar negeri.

Kebijakan tersebut disebut sebagai strategi menjaga stabilitas fiskal tanpa menambah beban masyarakat Jepang. Pemerintah menilai, kontribusi ekonomi dari wisatawan dan ekspatriat perlu diimbangi dengan tanggung jawab fiskal yang lebih proporsional.

Kenaikan pajak keberangkatan dari 1.000 yen (sekitar Rp112 ribu) menjadi sekitar 3.300 yen (Rp372 ribu) akan mulai berlaku pada tahun fiskal 2026. Pemerintah menyebut penyesuaian ini dilakukan agar sesuai dengan standar internasional, sekaligus membiayai peningkatan layanan imigrasi dan infrastruktur pariwisata.

Kenaikan juga berlaku untuk biaya visa, yang selama 47 tahun tak pernah berubah dari 3.000 yen (Rp338 ribu). Nilai baru nantinya akan disesuaikan dengan tarif negara-negara Barat yang bisa mencapai 16.000 hingga 28.000 yen. Pemerintah menilai revisi ini penting untuk menutup biaya administrasi dan modernisasi sistem imigrasi.

Selain itu, Jepang akan memperkenalkan sistem pra-penyaringan digital bernama Japan Electronic System for Travel Authorization (JESTA) pada tahun fiskal 2028. Wisatawan dari negara bebas visa tetap diwajibkan mengisi data secara daring dan membayar biaya kecil sebelum masuk Jepang.

Dari kebijakan tersebut, pemerintah memperkirakan tambahan pemasukan hingga 300 miliar yen (sekitar Rp33 triliun) per tahun. Dana ini akan digunakan untuk mendukung kebijakan sosial seperti pendidikan gratis tingkat menengah atas dan subsidi energi sementara.

Meski begitu, sejumlah ekonom mengingatkan agar pemerintah berhati-hati. Profesor Keuangan Publik Universitas Meiji, Hideaki Tanaka, menyebut bahwa kenaikan biaya jangan sampai menurunkan minat wisatawan asing yang berkontribusi besar terhadap ekonomi Jepang.

“Menjaga fiskal itu penting, tapi Jepang juga harus tetap ramah bagi pengunjung. Jika biaya masuk terlalu tinggi, arus wisata bisa berkurang,” ujarnya.

Kebijakan baru ini menjadi tanda perubahan arah Jepang: dari negara yang lama dikenal murah hati terhadap turis, kini beralih menjadi negara yang menuntut kontribusi lebih besar dari setiap pengunjungnya. Pemerintah berharap, langkah ini dapat menyeimbangkan dua hal yang krusial menjaga kesehatan fiskal tanpa kehilangan daya tarik global.

Purbaya Ancam Bongkar Jaringan Mafia di DJP dan Bea Cukai: “Era Main Selundupan Sudah Tamat!”

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melempar sinyal keras: tak ada lagi ruang aman bagi mafia pajak dan penyelundupan di tubuh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Dalam waktu dekat, ia memastikan akan ada “gelombang penangkapan besar-besaran” terhadap oknum nakal di dua lembaga strategis tersebut.

“Kalau sektor riil dijaga, barang-barang selundupan saya tutup. Yang suka main selundupan saya tangkap. Sebentar lagi ada penangkapan besar-besaran. Saya tidak peduli di belakangnya siapa. Di belakang saya, Presiden,” tegas Purbaya di Jakarta, Sabtu (16/10/2025).

Purbaya menyebut, langkah ini merupakan bagian dari gerakan nasional menertibkan sistem penerimaan negara yang selama ini bocor akibat praktik kotor di lapangan. Ia menilai, penyelundupan rokok, tekstil, dan produk baja menjadi sumber kebocoran pajak sekaligus biang kerok menurunnya daya saing industri nasional.

“Rokok ilegal, tekstil ilegal, baja ilegal—semuanya merusak. Industri dalam negeri kita yang kerja jujur jadi korban. Ini harus dihentikan total,” ujarnya lantang.

Menurutnya, selama bertahun-tahun jaringan mafia ekonomi ini bekerja rapi, bahkan diduga dilindungi sejumlah oknum aparat. “Saya sudah dengar sendiri dari pegawai Bea Cukai, ada yang ikut melindungi keluar-masuknya barang selundupan. Kalau Dirjen saya bintang tiga, dan yang di belakangnya bintang empat, saya laporkan langsung ke Presiden,” ungkapnya.

Purbaya mengaku tak akan ragu mengorbankan siapa pun demi memulihkan integritas institusi fiskal negara. “DJP dan Bea Cukai harus bersih. Dua lembaga ini jantung penerimaan negara. Kalau jantungnya kotor, seluruh tubuh ekonomi kita bisa lumpuh,” katanya tegas.

Target penerimaan pajak tahun ini mencapai Rp2.189,3 triliun, namun hingga awal Oktober 2025 baru terealisasi 62,4 persen. Sementara dari sektor bea dan cukai, realisasi baru 73,4 persen dari target Rp301,59 triliun per akhir September 2025. Purbaya menilai, angka itu bisa melonjak bila kebocoran dan penyelundupan berhasil dihentikan.

“Kalau penyelundupan berhenti, industri tumbuh, penerimaan pajak ikut naik. Negara tidak perlu menaikkan tarif, cukup tutup bocorannya saja,” ujarnya.

Langkah “bersih-bersih” ini menjadi peringatan nyata bahwa era kompromi telah berakhir. Di bawah komando Purbaya, Kementerian Keuangan tampaknya siap menyalakan alarm perang melawan mafia ekonomi yang selama ini nyaman bermain di balik seragam institusi negara.

Purbaya Murka! Oknum Bea Cukai Nongkrong di Kafe, Siap-Siap Dipecat

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa murka. Ia tak lagi menutupi kejengkelannya setelah mendengar keluhan publik yang menyingkap perilaku memalukan sebagian pegawai Bea dan Cukai. Dari lebih dari 15 ribu pesan yang masuk ke kanal pengaduan “Lapor Pak Purbaya”, mayoritas berisi cerita tentang aparat yang lupa diri saat mengenakan seragam negara.

“Totalnya 15.933 pesan, yang muji-muji cuma 2.459. Sisanya laporan semua,” ujar Purbaya sambil menghela napas di kantornya, Jakarta, Jumat (17/10).

Salah satu laporan yang ia bacakan membuat suasana ruangan seketika hening. Seorang wiraswasta menulis tentang sekelompok petugas Bea Cukai yang setiap hari nongkrong di kedai kopi ternama, berbincang keras-keras soal bisnis pribadi, sambil mengenakan baju dinas kebanggaan.

“Yang dibicarakan tentang aset, kiriman mobil, sampai cara jualnya. Mohon diawasi, Pak, karena kami risih melihat pegawai negara seperti itu,” bunyi pesan yang dibacakan Menkeu dengan ekspresi tegas.

Purbaya tak bisa menahan kekesalan. Ia menatap tajam ke arah para pejabat di ruangan.

“Kalau masih ada yang seperti ini, saya pecat! Jangan kira saya main-main. Sudah digebrak berkali-kali, tapi tetap saja cuek,” ujarnya dengan nada tinggi.

Kemarahan Purbaya tak berhenti di situ. Ia juga menyoroti laporan tentang maraknya rokok tanpa cukai di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau — wilayah yang disebut-sebut menjadi surga bagi peredaran barang ilegal. Warga menuding aparat Bea Cukai hanya berani menertibkan warung kecil, tapi membiarkan para cukong besar melenggang bebas.

“Ini bukan lagi salah urus, tapi pembiaran. Kalau memang ada yang main mata dengan cukong, saya pastikan akan berurusan langsung dengan saya,” tegasnya.

Untuk membongkar akar masalah, Purbaya membentuk tim khusus gabungan Bea Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak. Tim ini diberi mandat untuk menelusuri laporan publik, mengidentifikasi pelaku bisnis gelap, serta memetakan jaringan cukong di setiap daerah.

“Saya minta mereka buat daftar siapa saja pemainnya. Kalau nanti ada barang ilegal yang masuk dan terhubung ke nama itu, kita proses — tanpa pandang bulu,” katanya.

Menurut Purbaya, masalah di Bea Cukai bukan semata persoalan individu nakal, melainkan budaya organisasi yang sudah waktunya dibongkar total.

Ia ingin kehadiran Lapor Pak Purbaya menjadi alat revolusi birokrasi, tempat rakyat ikut mengawasi perilaku aparat pajak dan Bea Cukai.

“Enggak ada lagi ruang untuk main-main. Saya mau integritas jadi kebiasaan, bukan sekadar slogan,” ujarnya menegaskan.

Kanal Lapor Pak Purbaya kini menjadi tumpuan masyarakat yang ingin suaranya didengar langsung oleh Bendahara Negara. Masyarakat dapat mengirimkan pesan singkat ke 0822-4040-6600, dan setiap laporan akan disaring serta diteruskan ke unit terkait untuk ditindaklanjuti.

“Saya ingin rakyat tahu, kalau lapor, pasti kami dengar. Dan kalau terbukti benar, pelakunya akan kami tindak,” tutup Purbaya.

Ada Petugas Pajak dan Bea Cukai Nakal? Adukan ke “Lapor Pak Purbaya”!

Foto: Istimewa

RBDCORTAX, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa resmi membuka kanal pengaduan publik bernama “Lapor Pak Purbaya”, sebagai jalur langsung bagi masyarakat untuk melapor jika menemukan perilaku menyimpang, pungutan liar, atau pelayanan buruk di lingkungan pajak dan bea cukai.

Melalui kanal ini, masyarakat bisa langsung mengirimkan laporan lewat WhatsApp ke nomor 0822-4040-6600, mulai Rabu (15/10). Layanan ini hadir sebagai bagian dari komitmen Purbaya untuk memperkuat integritas, transparansi, dan akuntabilitas di tubuh Kementerian Keuangan.

“Kalau ada yang nakal, laporkan ke saya. Jangan takut. Negara butuh pegawai yang jujur dan profesional,” tegas Purbaya saat peluncuran program di Jakarta.

Kanal aduan tersebut dikelola oleh tim khusus yang siaga 24 jam menerima pesan masyarakat. Setiap laporan akan diverifikasi dan disortir sebelum ditindaklanjuti ke unit pengawasan terkait, dengan jaminan penuh terhadap kerahasiaan identitas pelapor.

Purbaya menegaskan, reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan tidak boleh berhenti pada sistem digital semata. Yang lebih penting, kata dia, adalah membangun budaya bersih dan berani bertanggung jawab di seluruh lini pelayanan publik.

“Teknologi membantu, tapi keberanian masyarakat melapor dan komitmen aparat menjaga etika jauh lebih penting,” ujarnya.

Langkah ini disambut antusias oleh pelaku usaha dan pengamat fiskal. Mereka menilai “Lapor Pak Purbaya” sebagai terobosan berani yang bisa mempersempit ruang penyimpangan dan memperkuat iklim investasi yang sehat.

Kini, masyarakat punya senjata baru untuk mengawasi langsung pelayanan pajak dan kepabeanan.

Cukup satu nomor WhatsApp dan setiap suara rakyat bisa sampai langsung ke meja Menteri Keuangan.

Purbaya: Tak Ada BPN, Fokus Benahi Pajak dan Cukai dari Dalam

Foto: Istimewa

RBDCOTAX, Jakarta: Rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) belum terealisasi. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, dirinya tak ingin menambah lembaga baru, tapi justru mengerahkan tenaga penuh untuk membenahi dua mesin utama penerimaan negara: pajak dan bea cukai.

“Untuk sementara kayaknya enggak akan dibangun. Pajak dan bea cukai tetap di Kemenkeu, dan saya yang langsung membawahi,” ujar Purbaya di kantornya, Jakarta, Selasa (14/10/2025).

Menurutnya, Presiden sudah memberi mandat jelas: perbaiki dari dalam, bukan bentuk yang baru. Purbaya pun memilih jalur reformasi struktural agar penerimaan negara benar-benar bisa tumbuh berkelanjutan tanpa menambah lapisan birokrasi.

“Fokus saya memperkuat yang ada, menutup kebocoran, dan mendisiplinkan aparat di lapangan. Reformasi bukan cuma soal sistem, tapi juga soal mental,” tegasnya.

Langkah ini menunjukkan gaya kepemimpinan Purbaya yang lebih pragmatis dan berorientasi hasil. Ia yakin, lewat pembenahan internal yang masif, rasio pajak bisa terdongkrak 0,5% tahun depan, atau setara tambahan penerimaan lebih dari Rp110 triliun.

“Dengan sektor riil yang mulai hidup, kenaikan itu bisa datang alami. Kita tinggal pastikan sistemnya bersih dan pegawainya disiplin,” katanya optimistis.

Keputusan Purbaya ini sekaligus menepis spekulasi bahwa Kemenkeu akan melepas sebagian kewenangannya ke lembaga baru. Justru sebaliknya, ia ingin membuktikan reformasi fiskal bisa sukses tanpa bongkar struktur.

Langkah “gaspol” Purbaya di awal kepemimpinannya ini pun menjadi sinyal bahwa penerimaan negara bukan soal lembaga baru, tapi soal kemauan untuk berubah.